MAKALAH KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA KAMPUNG HALAMAN



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Di lain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju ke arah “desa dunia” (global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern. Oleh karenanya masyarakat harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya, adakah sudah saling mengenal atau pun belum pernah sama sekali berjumpa apalagi berkenalan.

Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinnya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Dari itu mempelajari komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan.

Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah komunikasi. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara “horizontal” dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.








BAB II

PEMBAHASAN

B. Definisi Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang bekembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Suatu budaya dapat terbentuk dari berbagai unsur antara lain sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, bangunan, karya seni, makanan, dan sebagainya. Hal-hal tersebutlah yang dapat mempengaruhi suatu budaya sehingga menyebabkan budaya dari satu daerah dengan daerah lain dapat berbeda-beda.

Cara kita berhubungan dengan orang lain juga dapat mempengaruhi budaya. Sehingga cara kita berpikir dan bertindak akan berbeda dengan setiap orang lain dari budaya kita. Selain itu, sebuah budaya akan senantiasa berubah dan berevolusi dari waktu ke waktu. Tetapi seperangkat karakter akan tetap dimiliki oleh suatu kelompok secara keseluruhan walapun telah berubah banyak.

Contohnya orang-orang desa yang walaupun permukimannya telah dirubah sedemikian rupa, tetapi adat serta bahasa yang mereka gunakan pasti tidak akan cepat berubah karena budaya yang mereka miliki telah diwariskan dari generasi ke generasi sehingga budaya yang mereka miliki akan tetap dipertahankan.

C. Komunikasi Antar budaya

Komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya

Komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan ekonomi). Penggolongan suatu budaya tidak bersifat mutlak karena untuk menandai suatu kelompok budaya kita dapat memilih lebih dari satu ciri dari kelompok budaya tersebut.

Contoh : Kita berbicara mengenai orang-orang asli betawi, sunda, dan batak. Kita dapat menggolongkan mereka sebagai anggota budaya pulau Sumatera atau Jawa. Tetapi kita juga dapat menyebutnya sebagai anggota sebuah budaya kota atau budaya daerah. Lebih luas lagi, kita dapat menggolongkannya sebagai budaya Indonesia.

D. Budaya Dipelajari

Bahasa adalah hal yang sangat berpengaruh dalam komunikasi antar budaya. Bahasa merupakan suatu bagian budaya yang tak terpisahkan dari diri kita sehingga kita terkadang cenderung menganggapnya sebagai suatu warisan yang diwariskan secara genetis. Tetapi hal itu merupakan suatu kekeliruan karena pada dasarnya bahasa merupakan suatu budaya yang kita pelajari dari orang lain bukan karena diwariskan.

Jadi kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa budaya itu dipelajari. Karena budaya dipelajari, budaya juga berubah ketika orang-orang berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya.

Contoh : Seorang bayi dilahirkan di Jakarta dan lahir dari orangtua Betawi dan Sunda tetapi dibawa ke Bogor dan dibesarkan sebagai orang Bogor. Bayi tersebut akan menjadi seorang yang secara kultural dan bahasa yang akan digunakan kemungkinan dapat menjadi bahasa Sunda bukan bahasa Betawi.

Contoh diatas merupakan budaya yang dipengaruhi oleh tuntutan-tuntutan lingkungan yang baru. Misalnya anak tersebut lebih banyak bergaul dengan teman-teman Jakartanya daripada dengan orang tuanya yang Sunda. Maka secara otomatis dia dituntut untuk mengikuti budaya Jakarta daripada budaya Sunda. Hal ini dapat didefinisikan sebagai “Citra yang memaksa”.

Pandangan yang mengandung makna “Citra yang memaksa” merupakan alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya yang berbeda.

Menurut Cushman dan Cahn (1985), citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggota budaya dengan memberi pedoman mengenai perilaku yang layak yang dapat digunakan untuk hidup secara logis dan bermartabat. Jika kita dapat memahami pandangan tersebut maka kita dapat menyelesaikan kendala yang merupakan kesulitan dalam komunikasi antarbudaya karena seringkali orang dari budaya lain yang memasuki budaya kita dapat tampak mengancam kita karena mereka menantang sistem kepercayaan kita, begitu juga sebaliknya.

E. Gegar Budaya

Culture Shock adalah penyesuaian diri terhadap suatu budaya asing yang mencakup pengalaman-pengalaman gegar budaya yaitu perasaan tidak berdaya, pengasingan diri, paranoia, kejengkelan, dan rindu kampung halaman.

Sedangkan reverse culture shock adalah gegar budaya yang terjadi lagi ketika kita menyesuaikan diri kembali dengan budaya sendiri saat pulang ke kampung halaman. Hal ini dapat terjadi karena ada kemungkinan sikap dan cara berinteraksi orang yang bersangkutan telah berubah. Sehingga orang yang paling mampu menyesuaikan diri dengan budaya asing mungkin akan mengalami gegar budaya yang paling parah

F. Perbedaan Budaya

Perbedaan antara dua kelompok budaya berkisar pada perbedaan yang kecil hingga perbedaan yang besar. Perbedaan antar budaya biasanya disebabkan karena hanya ada sedikit kontak antara budaya-budaya tersebut atau antara suatu budaya dengan budaya-budaya lain pada umumnya.

Apa yang membedakan suatu budaya dengan budaya lainnya tidak selalu jelas. Perbedaan di antara budaya akan terlihat lebih jelas pada saat mereka berkomunikasi. Karena itu, pemahaman mengenai komunikasi antar budaya sangatlah diperlukan

Contoh : Orang Bogor dan orang Sukabumi sama-sama berbicara bahasa Sunda. Tetapi saat mereka berkomunikasi, mereka pasti menggunakan aksen yang berbeda dan sedikit kosakata dan ungkapan yang berbeda pula.

G. Prinsip-prinsip Terhadap Komunikasi Antar budaya

Teknologi komunikasi yang terus berkembang memungkinkan kita untuk berhubungan dengan hampir semua orang yang berbeda budaya. Interaksi antara orang-orang berbeda budaya telah menimbulkan lebih banyak salah pengertian atau salah pemahaman. Hal ini menjadi kendala terhadap komunikasi anatarbudaya.

Beberapa prinsip yang berlaku dalam melukiskan proses komunikasi antar budaya yaitu:

a. Suatu sistem sandi bersama (terdiri dari 2 aspek, verbal dan nonverbal)

Tanpa adanya suatu sistem bersama yang digunakan di berbagai budaya, komunikasi akan menjadi tidak mungkin. Setiap budaya mempunyai sistem sandi yang berbeda-beda untuk berkomunikasi. Karena itu sering terjadi berbagai kesalahpahaman saat berkomunikasi dengan orang dari budaya yang berbeda.

Contoh : Orang Jawa dengan orang yang dari luar pulau Jawa menggunakan kosa kata yang berbeda tetapi mempunyai arti yang sama. Misalnya orang Jawa menyebut kendaraan sebutan mobil, tetapi di luar Jawa ada yang menyebut mobil dengan sebutan motor. Hal ini yang dapat menyebabkan salah pengertian saat kedua orang dari daerah yang berbeda tersebut berkomunikasi satu sama lain.

b. Kepercayaan dan perilaku

Perilaku yang berlainan diantara pihak-pihak yang berkomunikasi menyebabkan perbedaan dalam memberikan respons. Kepercayaan dan perilaku kita mempengaruhi persepsi kita terhadap orang lain. Kedua orang yang berperilaku secara berbeda akan sulit mengetahui respon yang akan ditunjukkan pihak lain. Padahal kemampuan meramal respon orang lain merupakan bagian dari komunikasi yang efektif.

Contoh: Seseorang menawarkan makanan berupa daging kepada tamunya. Tetapi tamu tersebut tidak makan daging sesuai dengan kepercayaannya sehingga ia menolak tawaran tersebut. Orang itu menjadi marah dan jengkel kepada tamunya karena ia mengira tamu tersebut menolak keramahtamahannya.

c. Tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain

Selain mempunyai pengetahuan mengenai perbedaan budaya, kita juga harus menerima kepercayaan dan perilaku dari orang lain. Cara kita menilai budaya lain dengan nilai budaya kita sendiri akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan terjadi.

Contoh: Kita mengetahui bahwa suku pedalaman suka berburu dan membunuh namun kita tidak dapat menerima orang-orang yang berbudaya tersebut. Padahal mereka melakukan hal itu untuk bertahan hidup di daerah pedalaman yang jauh dari peradaban dan teknologi.

d. Budaya Konteks Tinggi-Budaya Konteks Rendah

Budaya konteks tinggi lebih terampil membaca perilaku nonverbal. Jadi mereka berbicara lebih sedikit daripada anggota budaya konteks rendah. Umumnya komunikasi mereka cenderung tidak langsung. Budaya konteks-rendah lebih menekankan komunikasi langsung dan eksplisit serta mementingkan pesan verbal.

Contoh budaya yang disusun dalam rentang budaya konteks-tinggi dan budaya konteks rendah yaitu :

Jepang, Arab, Yunani, Spanyol, Inggris, Prancis, Amerika, Jerman, Swiss.

H. Norma dan Peranan

a. Norma

Norma adalah aturan-aturan atau ukuran perilaku manusia. Aturan-aturan tersebut mempengaruhi seseorang dalam berprilaku. Norma dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan bagaimana norma tersebut terbentuk, yaitu norma hukum dan norma sosial. Norma hukum adalah aturan-aturan atau perilaku manusia yang dibentuk oleh lembaga-lembaga tertentu yang tugasnya mengatur perilaku orang lain. Norma sosial adalah aturan-aturan atau perilaku manusia yang dibentuk oleh kebiasaan umum dalam suatu kelompok masyarakat pada batas wilayah tertentu yang menjadi patokan perilaku.

Norma sosial ini dibagi lagi menjadi empat norma, yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma kebiasaan. Berikut penjelasannya :

Norma agama adalah norma sosial yang sifatnya mutlak karena berasal dari Tuhan. Contoh : “Siapa yang menjaga mulut-Nya memelihara nyawanya” (Amsal 13 : 3)

Norma kesusilaan adalah norma sosial yang dari hati nurani dimana seseorang dapat membedakan hal yang baik dan buruk. Misalkan siswa yang tidak terbiasa menyontek akan merasa takut ketika ingin mencontek

Norma kesopanan adalah norma sosial yang didasarkan pada kebiasaan, kepatutan, dan kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Misalkan dalam tradisi jawa, orang yang lebih muda harus membungkukan badannya ketika melewati orang yang lebih tua darinya.

Norma kebiasaan adalah norma sosial yang terbentuk akibat perilaku yang dilakukan berulang-ulang secara sadar maupun tidak. Misalkan, seringkali seseorang membelikan kado kepada temannya yang berulang tahun.

Aturan-aturan dalam norma sosial secara kultural dikembangkan dan diwariskan secara turun-temurun. Seseorang yang dibesarkan di Jakarta sejak kecil, dididik untuk berbicara jelas dan melihat orang lain yang berbicara kepada anda. Orang tersebut dianggap tidak sopan jika berbicara berbelit-belit dan membuang muka saat berbicara dengan orang lain. Namun norma tersebut berbeda dengan norma yang ditanamkan pada anak-anak yang tinggal didaerah hispanik, sejak kecil mereka dididik untuk merendahkan pandangan mata mereka, sebagai isyaratan penghormatan, ketika orang-orang yang berwenang berbicara kepada mereka. Polisi-polisi Amerika yang mengontrol daerah selalu salah paham ketika berbicara dengan anak-anak hispanik. Mereka yang dididik dengan norma yang berbeda menafsirkan perilaku anak-anak tersebut sebagai kebencian.

Permasalahan atau pertentangan yang timbul akibat perbedaan norma disebut norma-norma konflik. Pemahaman atas norma-norma konflik ini sangatlah penting untuk menyelesaikan suatu permasalahan antara dua orang atau kelompok yang berbeda budaya.

b. Peranan

Peranan adalah perangkat-perangkat norma yang berlaku bagi kelompok-kelompok orang yang spesifik dalam suatu masyarakat. Peranan juga dipengaruhi oleh budaya sehingga peranan sangat bervariasi dalam berbagai budaya. Perangkat-perangkat norma seorang pria terhadap wanita di Jawa berbeda dengan Bali.

Para peneliti dari beberapa disiplin mengakui bahwa perkawinan dua orang dari budaya-budaya berlainan, berbeda dari perkawinan dua orang dari budaya yang sama. Dalam perkawinan dua orang dari budaya berbeda, besar kemungkinannya timbul perbedaan-perbedaan kekuasaan dalam membuat keputusan dan pola pengungkapan diri.

Pengungkapan diri adalah komunikasi mengenai diri sendiri kepada orang lain, sehingga orang lain dapat mengetahui apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diinginkannya. Misalkan, orang-orang Jawa Tengah lebih kurang mengungkapkan dirinya dibandingkan orang-orang dari budaya Batak. Ketika seorang suami atau istri gagal mengkomunikasikan kepentingannya dan menganggap pasangannya tidak terikat oleh budayanya, masalah mungkin akan timbul seperti kesalahpahaman. Dalam kasus ini, harus ada kesadaran akan perbedaan budaya dari kedua pasangan. Menurut Rohrlich, “Perbedaan budayalah yang membuat pernikahan lebih bervariasi, menarik, dan lebih kaya”.

c. Hubungan antara membangun komunikasi efektif antar budaya dengan norma dan peranan

Dalam menjalin komunikasi dengan seseorang atau sekelompok yang berbeda budayanya, diperlukan pemahaman yang baik mengenai norma-norma yang dianut oleh lawan bicara, yaitu norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan kesopanan.

Tujuannya agar terjalin komunikasi yang efektif antara pembicara dan pendengar. Namun, sebelum mengenal norma yang dianut, hubungan peranan pembicara dengan peranan pendengar perlu diketahui. Misalkan, jika seorang murid sedang berbicara dengan gurunya, murid tersebut perlu mengetahui norma-norma kesopanan seorang murid terhadap guru agar tidak terjadi konflik.

I. Kepercayaan dan Nilai

Adalah jauh lebih sulit memahami dan menerima nilai-nilai budaya lain bila nilai-nilai itu berbeda dari nilai-nilai budaya sendiri. Tanpa sadar seseorang menganggap nilai-nilai yang dipercayanya tampak universal dan mutlak. Nilai-nilai menentukan apa yang seseorang anggap benar, baik, penting, indah. Terkadang seseorang sulit menerima bahwa apa yang benar atau baik bergantung pada budaya.

Misalnya, seorang yang berasal dari Barat Indonesia mungkin sulit untuk menyantap makanan Timur Indonesia yang tidak dikenalnya. Lebih sulit lagi menerima bahwa dalam beberapa budaya orang-orang bahkan memakan tanaman dan binatang yang tidak dianggap sebagai makanan oleh manusia umumnya, dan juga sulit memahami mengapa. Di India, terjadi kelaparan massal, padahal sapi-sapi berkeliaran di jalan, namun karena terikat dengan norma agamanya, sapi-sapi tersebut tidak dapat disembelih.

Walaupun demikian, nilai-nilai dari budaya lain dapat terima, percaya, dan pahami apabila seseorang tinggal dalam waktu lama di komunitas yang berbeda budaya. Suatu penelitian dengan subjek wanita etnis Jawa Timur yang datang ke Jakarta ketika mereka sudah dewasa-muda, mendapatkan hasil bahwa pola-pola berpikir mereka berubah. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa terkadang sistem kepercayaan dan nilai dapat memperbaikin kehidupan orang atau kelompok yang menganutnya.

J. Kendala terhadap Pemahaman Antara Budaya

Kita tidak dapat mempelajari suatu bahasa asing hanya dengan menghafalkan kosakata/struktur tata bahasanya. Semakin berbeda kedua budaya, semakin besar perbedaan antara kedua kelompok itu, dan semakin sedikit kemungkinan untuk saling memahami.

Contoh : bila seorang berlatar belakang budaya Sunda mempelajari budaya Betawi, maka ia tidak akan pernah memahami bagaimana dibesarkan dalam budaya itu.

a. Etnosentrisme

Kita tidak menyadari banyak aspek budaya kita berbeda dengan budaya-budaya lain. Karena budaya tidak disadari, mungkin tidak terhindarkan bahwa kita menganggap “kelompok kita sendiri, negri kita sendiri, budaya kita sendiri, sebagai yang terbaik, yang paling bermoral.”

Etnosentrisme adalah suatu kecendrungan menghakimi nilai, adat istiadat, perilaku atau aspek-aspek budaya lain dengan menggunakan kelompok dan adat istiadat kita sendiri sebagai standar bagi semua penilaian.

Seorang psikolog Roger Brown (1986) mengatakan : “Bukan hanya universalitas etnosentrisme yang membuat kita berpikir bahwa etnosentrisme sulit dihilangkan, namun karena ia bersumber pada psikolog manusia, yakni usaha individu untuk memperoleh dan memelihara penghargaan diri.”

Sedangkan seorang antropolog Edward Hall (1976) percaya bahwa etnosentrisme mempersulit komunikasi antar budaya bahkan bila kedua pihak yang berinteraksi berusaha membuka pikiran mereka.

Secara teoretis, seharusnya tidak ada masalah ketika budaya-budaya yang berbeda bertemu. Biasanya pertemuan antar budaya itu di awali tidak hanya dengan persahabatan dan kemauan sbaik pada kedua pihak, namun ada pengertian intelektual bahwa setiap pihak mempunyai seperangkat, kebiasaan, aturan, dan nilai yang berbeda.

b. Penstereotipan (Stereotyping)

Stereotip adalah suatu pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut. Stereotip ini dapat berupa prasangka positif/negatif. Bahkan kadang-kadang bisa dijadikan sebagai alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotipe negatif. Karenanya tereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang.

Contohnya adalah ketika kita pertama kali bertemu orang, bertanya sedikit tentang dirinya, dan kemudian ketika kita tahu dia berasal dari suku tertentu, maka satu informasi tentang suku itu akan kita lekatkan kuat-kuat pada orang tersebut. Misalnya stereotip orang Jawa (menurut orang luar Jawa) itu halus, kalem, kemayu, dll.

Penilaian-penilaian itu lebih banyak didasarkan pada pengalaman empiris suku atau bangsa yang menilai tersebut dalam berinteraksi dengan suku atau bangsa yang dinilai, dimana penilaian tersebut hanyalah penyederhanaan dan pemukulrataan suatu kesimpulan saja terhadap sifat dan karakter suku atau bangsa yang dinilai.

Begitu juga yang terjadi pada suku Madura. Mereka juga punya stereotype yang melekat di benak suku atau bangsa lain. Stereotype orang Madura ini lebih banyak yang negatif daripada yang positif. Stereotype ini antara lain mengatakan bahwa sifat dan karakter orang Madura itu keras perilakunya, kaku, ekspresif, temperamental, pendendam, dan suka melakukan tindak kekerasaan. Padahal sifat-sifat dan karakter-karakter tersebut tidak semuanya benar.

Apa yg kita tahu tentang orang Jawa, orang Padang, orang Papua, dan macam-macam suku tertentu, itu semua adalah informasi umum yang kita dapat entah darimana saja dan sebenarnya kita sendiri juga belum tentu mengalami secara langsung. tapi kita percaya dengan image umum itu dan kita mengasosiasikan individu yang melekat ke kelompok-kelompok itu dengan pandangan umum tersebut.

Padahal secara individu, orang tersebut bisa jadi memiliki sifat yang benar-benar sangat jauh berbeda/malah bisa bertolak belakang dengan stereotype itu. Bisa saja dia memang turunan Jawa, tapi lahir dan besar di tanah Betawi plus lingkungan teman-temannya asli Betawi semua bahkan bisa juga dia sama sekali tidak mengetahui budaya Jawa, pada akhirnya. Tapi saat kita baru mengenal orang, seringkali kita mengabaikan kemungkinan itu. Kita hanya percaya pada anggapan umum yang salah (stereorype) itu.

Teoretisi ini menekankan bahwa disamping menciptakan ekspektasi mengenai bagaimana orang-orang akan berperilaku, sterotip sering menimbulkan nubuat yang dipenuhi sendiri (self-fulsilling prophecy), karena kita bertindak berdasarkan informasi yang kita percayai sebagai benar.

Demikian pula cara kerja “hallo effect”. Kalau stereorype lebih sering dikonotasikan negatif, hallo effect kebalikannya. Jika kita pertama kali melihat orang yang ganteng/cantik, rapih, wangi, dan tampak terpelajar, maka kita akan cenderung percaya dan melekatkan segala sifat positif pada orang tersebut. Buktinya, banyak orang yang tertipu oleh pencopet yang bergaya seperti direktur,kan? Kalau kita lihat orang ganteng/cantik, tampilan ramah, rapi, wangi, kita cenderung menganggap mereka orang yang bisa dipercaya. Kita cenderung lebih merasa comfort berada dekat orang yg seperti ini penampilannya, ketimbang orang yang wajahnya tampak galak plus tampilan lusuh.

Padahal bisa jadi penjahat sebenarnya adalah yang gayanya 'oke banget' itu. Sehingga itulah “the power of hallo effect”. Sebuah pesona stimuli yang sudah kita senangi dan mempunyai kategori tertentu yang positif, dan pada kategori itu disimpan semua sifat yang baik.

K. Efek Komunikasi Antarbudaya

a. Efek Personal

Meskipun komunikasi antar budaya semakin mempengaruhi dunia tempat kita tinggal, kebanyakan ahli setuju bahwa hambatan-hambatan terhadap komunikasi dan pemahaman antar budaya mungkin akan merupakan fakta bahwa sedikit komunikasi akan terjadi pada tingkat personal. Bepergian ke luar kota lebih mudah sekarang dan ekonomis untuk dilakukan dibandingkan zaman dahulu, namun sedikit orang yang bepergian secara ekstensif untuk benar-benar mengenal orang-orang dari budaya lain.

Di negeri kita sendiri kita cenderung tinggal bersama kelompok-kelompok dan subkelompok kita sendiri. Dewasa ini kebutuhan banyak kelompok orang dari budaya-budaya berlainan untuk menegaskan dan memelihara budaya mereka masing- masing terlihat pada tuntutan mereka untuk memperoleh pendidikan dwi-bahasa, program-program multibudaya, kurikulum, dan buku-buku teks yang secara lebih baik mempresentasikan semua kontribusi budaya terhadap literatur dan sejarah kita.

Di antara penduduk imigran di kota besar terbesar seperti di Jakarta kita menemukan kelompok-kelompok etnik yang tinggal bersama di daerah-daerah tertentu.

Bagi siapa saja yang membaca buku , yang menonton televisi, dan peduli dengan peristiwa-peristiwa nasional, membuat wawasan telah tumbuh lebih besar. Meskipun ada anggapan bahwa pengertian antar budaya meningkat sebagai akibat dari pertukaran budaya dan pendidikan selama waktu yang cukup panjang, para ahli percaya bahwa cita-cita ini harus dapat dibuktikan secara empiris. Maka telah dilakukan beberapa kajian mengenai program-program pertukaran mahasiswa.

Misalnya, Rohrlich dan Martin (1991) meneliti penyesuaian diri mahasiswa-mahasiswa Amerika Serikat yang belajar di luar negeri juga penyesuaian diri ketika mereka kembali ke Amerika, mereka menemukan wanita lebih puas daripada pria setelah kembali, mungkin karena gaya hidup mereka di negeri sendiri lebih bebas ketimbang ketika mereka tinggal dengan keluarga pribumi.

Penelitian lain yg dilakukan oleh Carlson dan Widaman (1988) membandingkan 450 mahasiswa dari University of California yang menghabiskan tahun pelajaran ketiga di sebuah universitas Eropa dengan mahasiswa-mahasiswa yang tetap belajar di kampus mereka di Amerika pada tahun ketiga.

Pada akhir tahun pelajaran, kepedulian politik internasional dan kosmopolitanisme yang lebih tinggi. Dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang tetap belajar di dalam negeri, mereka belajar yang di luar negeri juga menunjukan sikap-sikap yang lebih positif dan lebih kritis terhadap negara mereka. Jadi belajar cukup lama di luar negeri dapat memberi andil terhadap sikap-sikap yang lebih positif dan peningkatan pengertian antarbudaya, namun masih banyak yang harus dipelajari bagaimana sikap-sikap tersebut berkembang

b. Efek Kultural

Sejak zaman dahulu, budaya-budaya berubah karena saling berhubungan. Para pedagang dan invasi bangsa Mongol pernah membawa serbuk senjata, makaroni, dan barang-barang Asia ke Eropa, kemudian, para imigran membawa barang­-barang ini dan barang-barang lainnya dan adat istiadat ke Amerika Serikat. Invasi bangsa Norman ke Inggris padas abad kesebelas secara permanen mempengaruhi bahasa Inggris, tidak hanya dari kontak dengan bahasa Prancis, tapi karena bahasa Prancis merupakan bahasa aristokrasi dan Inggris merupakan bahasa kaum petani. Para penjelajah Eropa membawa kuda-kuda kepada orang-orang Indian, orang-orang Indian mengajari para pendatang terdahulu bagaimana menanam jagung, dan tembakau, dan para pendatang dan keturunan mereka mendesak orang-orang Indian itu ke Barat. Inilah beberapa contoh bagaimana perdagangan, perang, penaklukan, dan migrasi, telah mempengaruhi budaya-budaya sepanjang sejarah.

Kebanyakan orang tidak akan mempersoalkan nilai beberapa aspek pertukaran budaya, seperti pengenalan metode sanitasi untuk menangkal penyakit atau metode pertanian yang dapat menyelamatkan ribuan orang dari kelaparan. Namun banyak orang, termasuk sejumlah ahli budaya, mempertanyakan nilai aspek-aspek lain pertukaran budaya. Mereka bertanya apakah suku-suku terasing yang telah terisolasi ratusan tahun benar-benar memperoleh manfaat dari hubungan dengan dunia luar, misalnya, peperangan dan sumber-sumber penyakit dan polusi serta kemajuan peradaban.

Pertukaran antar budaya menimbulkan homogenisasi budaya, kecendrungan budaya-budaya yang saling berhubungan untuk menjadi semakin mirip antara yang satu dengan lainnya. Homogenisasi budaya mengisyaratkan bahwa beberapa aspek suatu budaya akan mendominasi dan menghilangkan aspek-aspek budaya lainnya yang serupa.

Namun, orang sekarang menekankan keanekaragaman. Perbedaan-perbedaan lah yang menjadi isu dalam konflik-konflik tidak hanya antara kelompok-kelompok rasial dan etnik di negara kita, tetapi juga di negara-negara lain. Robert Jay Lifton, seorang psikiater yang telah menulis pemusnahan bangsa-bangsa, percaya bahwa ketidaknyamanan kita ketika meyaksikan penderitaan manusia dalam televisi dapat menjadi katalisator bagi perubahan dengan membangkitkan empati dan kasih sayang.

Bila ada pengertian yang memadai atas budaya-budaya regional dan nasional, adalah mungkin untuk memelihara perbedaan-perbedaan individual dan membiarkan anggota-anggota berbagai subkelompok dan kelompok untuk hidup berdampingan dan berkembang. Gudykunst dan Kim menyatakan bahwa “keanekaragaman budaya dan etnik adalah perlu bagi komunitas untuk eksis” mereka menyarankan tujuh prinsip untuk membangun komunitas, prinsip-prinsip untuk membangun komunitas, prinsip-prinsip bagi kita untuk bertanggung jawab :

1. Memiliki komitmen.

Kita harus mempunyai komitmen kepada prinsip memajukan komunitas dalam kehidupan kita, juga kepada individu – individu yang bersama kita mencoba memajukan komunitas.

2. Berhati – hatilah.

Pikirkan apa yang kita lakukan dan katakan. Fokuskan pada proses bukan pada hasilnya.

3. Terimalah tanpa syarat.

Terimalah orang lain sebagaimana adanya, jangan mencoba mengubah atau mengendalikan mereka. Hargailah keanekaragaman.

4. Pedulikan diri kita sendiri dan orang lain.

Hindarilah komunikasi yang menimbulkan pertentangan dan adakan dialog bila mungkin.

5. Bersikaplah penuh pengertian.

Kenalilah bagaimana budaya dan etnisitas mempengaruhi cara kita berpikir dan berprilaku.

6. Bersikaplah etis.

Perbuatlah perilaku yang bukan merupakan alat untuk mencapai tujuan tetapi perilaku yang secara moral benar dalam dan dengan perilaku itu sendiri.

7. Bersikaplah damai.

Jangan melakukan kekerasan dan menipu, jangan melanggar janji yang sah, atau suka berahasia. Berusahalah memelihara harmoni.


BAB III

PENUTUP

L. Kesimpulan

Manusia berkomunikasi dengan berbagai cara yang menekankan atau menging­kari apa yang dikatakannya melalui kata-kata. Mereka belajar membaca bagian yang berbeda dari spektrum komunikasi. Telah dibahas bahwa Setiap daerah mempunyai cara pikir dan adat kebiasaan yang ternyata halnya sama dan berbeda. Diketahui pula bahwa perbedaan arti yang sangat jauh antara setiap daerah itu mungkin terjadi.

Tiap orang mungkin merasa adat dan budaya orang lain aneh dan lebih rendah. Namun, ti­dak akan ada budaya standar, juga tidak akan ada ras standar, atau satu bahasa standar. Hal-hal yang mendasar dalam hidup di mana pun sama saja. Hal-hal tersebut bukannya sama sekali berbeda, hanya cara orang mengungkapkan kesan dan pemikiran yang berbeda-beda. Jika seseorang berbuat salah, dia tidak perlu mempertengkarkan siapa yang benar atau salah, tetapi berusaha memahami satu sama lain, karena keba­nyakan masalah ini timbul dari perbedaan budaya atau mungkin ketidaktahuan tentang budaya lain, bukan karena unsur kesengajaan. Untuk memecahkan kesalahpahaman ini, orang harus mengenal adat kebiasaan negara yang dimaksud.

Dari sinilah tercermin bahwa karakteristik masing-masing budaya mempengaruhi proses berlangsungnya interaksi atau komunikasi. Karakter masing-masing budaya yang berbeda yang akan hidup berdampingan akan memberikan out put yang berbeda pula. Ketika komunikasi antar budaya berlangsung, persepsi masing-masing individu yang memiliki berbeda pemikiran, menimbulkan respon balik yang beragam. Ketika satu orang memberi stimulus atau informasi, belum tentu semua orang bisa memahami maksudnya yang ingin disampaikannya sama dengan apa yang ia pikirkan.

Comments

  1. Makalah Komunikasi Antar Budaya Kampung Halaman >>>>> Download Now

    >>>>> Download Full

    Makalah Komunikasi Antar Budaya Kampung Halaman >>>>> Download LINK

    >>>>> Download Now

    Makalah Komunikasi Antar Budaya Kampung Halaman >>>>> Download Full

    >>>>> Download LINK Ut

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

TEORI KOMUNIKASI MODEL SHANNON DAN WEAVER

PEMBIDANGAN HUKUM BESERTA CONTOHNYA

Contoh Makalah Disorganisasi Keluarga (Perceraian)