MAKALAH MITOLOGI DAN IDEOLOGI DALAM SEMIOTIK IKLAN



BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian Semiotik

Semiotik (semiotics) berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti tanda atau sign. Tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, mampu menggantikan suatu yang lain (stand for something else) yang dapat dipikirkan atau dibayangkan (Broadbent, 1980). Semiotik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda atau teori tentang pemberian tanda.

Dalam bahasa Inggris semiotik didefinisikan sebagai berikut. “Semiotics is usually definde as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise.”

“Semiotik biasanya didefinisikan sebagi teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia”.

Istilah semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika sedangkan di Eropa lebih banyak menggunakan sitilah semiologi. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993: 1).


BAB II

PEMBAHASAN

B. Pengertian. Ideologi

Ideologi adalah lebih dari sekedar sistem dari idea atau nilai. Ia memerlukan hubungan antara arti tekstual dan bermacam-macam kelompok yang terlibat dalam membuat dan menerima teks. Ideologi sangat dipengaruhi oleh politik dari kehidupan sehari-hari seperti hubungan kekuasaan, yang didefinisikan dengan kepentingan kelompok dan kelas tertentu, dimana untuk setiap pribadi menjadi suatu kebiasaan dalam berhubungan satu dengan yang lain. (Thwaites, Anthony G., Tools for Cultural Studies, Macmillan Education Australia Pty. Ltd 1994, hal. 155)

Dalam pengertian ini ideologi dapat juga diartikan sebagai relasi antara makna suatu tanda dengan kelompok yang membuat dan membaca tanda tersebut, dimana ideologi yang diciptakan dan disisipkan pada tanda-tanda secara tidak sadar menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pada suatu periode pemerintahan, dimana pemerintah memasyarakatkan ideologi segi-lima melalui berbagai hal, diantaranya Penataran kampanye di semua lini pendidikan nasional, sehingga pada waktu itu terbentuk suatu badan kampanye, yang khusus dibentuk untuk membina pemasyarakatan ideologi segi-lima dan didanai secara khusus. Selain melalui penataran dan kampanye menyeluruh yang terprogram dan berkesinambungan, ada salah satu diantaranya yaitu penetapan ideologi segi-lima ini pada unsur lambang.

Sehingga timbul suatu anggapan bahwa yang bernama lambang, harus mengandung unsur segi-lima, dan yang tidak mengandung unsur segi-lima tidak mencerminkan lambang yang resmi, bahkan tidak hanya institusi negara, institusi swasta pun bila ingin tampil seolah-olah resmi akan menggunakan unsur segi-lima pada lambangnya.

Dalam kebudayaan kontemporer yang dipenuhi oleh aneka citraan media, ideologi ibarat spektrum yang melintas batas ruang dan waktu. Bahkan van Zoest menyatakan bahwa “ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita” (Sobur, 2003:208). Setiap penggunaan teks, penanganan bahasa, perilaku semiosis alias penggunaan tanda umumnya timbul berkat suatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. “Membaca” iklan televisi, dengan demikian tidak ubahnya membongkar praktik ideologis yang bekerja secara manipulatif di dalam sebuah situasi sosial tertentu.

Terdapat banyak varian pengertian ideologi, yang pada awalnya secara singkat menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok. Ideologi bekerja melalui sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana seseorang menggambarkan dunia atau lingkungannya.

Dari sudut pandang semiotik-sentris, tujuan utama ”membaca” iklan televisi adalah menemukan makna terselubung (latent meaning) yang terkait dengan mitos dan muatan ideologi tertentu. Persoalannya, relativitas kebenaran makna dalam semiotika menyebabkan sebuah tanda dapat dimaknai beragam. Setiap tanda memiliki sifat polisemy alias berpotensi multitafsir. Hal tersebut disebabkan oleh sifat ambigu dari penanda yang kemungkinan diberikan oleh penanda tersebut untuk diinterpretasikan.

Oleh karenanya, kendati tidak ada prosedur teknis baku dalam kajian semiotika, seorang ”pembaca”, bukan sekadar penonton tetapi perlu menstrukturkan iklan secara rapi dan konsisten. Rambu-rambu ini penting mengingat tidak terbatasnya tanda yang ada di dalamnya dapat menyebabkan seorang pembaca iklan tersesat dalam rimba tanda, yang menyebabkan proses penafsiran larut dalam problem unlimited semiosis.

C. Pendekatan Ideologi

V.O Key menekankan empat pendekatan dalam mengkaji ideology (Apter, 1996:226-228). Pendekatan pertama, orang dapat melihat ideologi sebagai manifestasi filsafat popular atau tradisi politik tertentu suatu perkumpulan, pandangan, ide-ide yang cukup koheren yang dianut oleh suatu kelompok.

Menurut key, ideology dengan definisi terminology yang terbaik adalah doktrin. Yakni kumpulan prinsip dengan beberapa tingkatan logika internal yang menggariskan hal-hal yang boleh dan yang dilarang. Suatu ideologi dapat digolongkan doktriner apabila ajaran-ajaran yang terkandung dirumuskan secara sistematis dan terinci dengan jelas, diindoktrinsikan kepada masyarakat dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau pemerintah.

Atas dasar tersebut, siapa saja yang tidak menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi, tidak akan dapat hidup secara wajar.

Pendekatan kedua, menelaah ideologi apa saja faktor-faktor penentunya. Apakah kelas kedudukan sosial, afiliasi etnis atau agama?

Menurut Key menelaah ideologi dengan cara ini adalah dengan menghubungkan teori-teori proses belajar masyarakat. Orang dapat mengkaji sejauh manakah kedudukan sosial seseorang menentukan ideologisnya, atau bagaimanakah peranan/kedudukan seseorang dalam masyarakat dapat menentukan nilai-nilai dan keyakinan orang tersebut. Pendekatan ini mendorong kita memberikan pilihan-pilihan doktrin kepada determinan-determinan sosial.

Pendekatan ketiga, pengujian ideologi dengan melihat kebutuhan-kebutuhan individu maupun masyarakat yang dipenuhinya.

Bagi individu ideologi membantu membentuk rasa diri seseorang menjadi koheren. Menerima suatu filsafat atau rangkaian keyakinan tertentu mengizinkan orang menolak yang lain dan mengidentifikasi diri sendiri dengan orang-orang yang melihat sesuatu hal dengan cara yang sama. Hal ini mempengaruhi apa yang sebagian ahli psikologi namakan “kebutuhan akan afiliasi”. Suatu kebutuhan yang dipuaskan dengan memasuki suatu asosiasi yang mebela prinsip-prinsip tertentu yang mewakili apa yang dinamakan ego ideal.

Anak-anak membuat model cita-citanya menurut contoh yang diperlihatkan oleh orang tuanya, tetapi mereka berusaha memperoleh pegesahan public untuk hal-hal ini dalam artian kepercayaan juga. Jadi ideologi adalah cara menghubungkan diri dengan masyarakat dan ego dengan lingkungan. Ketika identitas ego atau kesadaran diri berkembang, citra diri seseorang menjadi gambaran yang dimilki orang itu mengenai dirinya di dalam komunitas tersebut. Hal ini mungkin bersifat aktif atau pasif, menerima atau menolak, radikal atau konservatif, karenanya dapat dikatakan bahwa pendekatan ketiiga ini berkaitan dengan identitas pribadi.

Pendekatan keempat, dimensi pendekatan ini berkaitan dengan pendekatan ideologi yang ketiga. Ideologi tidak hanya menghubungkan individu dengan masyarakat secara prinsipil, tetapi juga menghubungkan penguasa dengan rakyatnya. Ideologi merupakan bisnis legitimasi pemakaian kekuasaan yang sah, bila sebagian individu beranggapan bahwa pemeritahan mereka tidak mengikuti prisnsip-prinsip itu atau jika mereka ingin merubahnya maka legitimasi pemerintahan itu akan ternacam

Ideologi berkaitan dengan pendapat umum, dimana ideologi itu berada pada perpotogan antara prinsip atau tujuan filosofis, pilihan dan keyakinan individual, serta nilai-nilai umum dan khusus. Perpotongan ini diikhtisarkan dalam gambar berikut:

Nilai, kepentingan, dan pilihan jelas saling bertumpang tindih. Ideologi menurut Apter merupakan kombinasi atribut-atribut ini yang terkadang koheren maupun tidak. Pilihan dapat diubah menjadi kepentingan, dan kepentingan dapat diubah menjadi nilai, atau pilihan dapat ditingkatkan menjadi status nilai untuk mencapai kepentingan.

Bagi gramsci (Simon, 200:86-87), ideologi tidak bisa dinilai dari kebenaran atau kesalahannya, tetapi harus dinilai dari keefektifan nya dalam mengikat berbagi kelompok sosial yang berbeda kedalam suatu wadah. Suatu kelas hegemonik menurut Gramsci merupakan contoh kelas yang berhasil dalam menyatukan kepentingan-kepentingan suatu kelompok kedalam kepentingan bersama mereka dengan tujuan untuk membangun kehendak kolektif rakyat secara nasional.

D. Pengertian Mitos

Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakinii kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide tertapi merupakan suatu cara pemberian arti. Secara etimologis, mitos merupakan suatu jenis tuturan, tentunya bukan sembarang tuturan. Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi, yakni suatu pesan (message). Tetapi mitos tidak didefinisikan oleh objek pesan melainkan dengan cara menuturkan pesan tersebut, misalnya dalam mitos, bukan hanya menjelaskan tentang objek pohon secara kasat mata, tetapi yang penting adalah cara menuturkan tentang pohon tersebut.

Apa saja bisa dikatakan sebagai mitos selama diutarakan dalam bentuk wacana/diskursus. Artinya, orang menuturkan tentang pohon dapat dibuat dalam berbagai macam versi. Pohon yang diutarakan oleh kelompok lingkungan bukan saja sebagai objek tetapi pohon mempunyai makna luas, psikologi, sakral, pelestarian dan seterusnya. Dalam arti pohon diadaptasi untuk suatu jenis konsumen, dengan kerangka literatur yang mendukung dan imaji-imaji tertentu yang difungsikan untuk keperluan sosial (social usage) yang ditambahkan pada objek murni.

Pengertian mitos dalam konteks mitologi-mitologi lama mempunyai pengertian suatu bentukan dari masyarakat yang berorientasi pada masa lalu atau dari bentukan sejarah yang bersifat statis, kekal. Mitos dalam pengertian lama identik sejarah/histori, bentukan masyarakat pada masanya.

Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan saja berbentuk tuturan oral, tetapi tuturan itu dapat berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah semua yang mempunyai modus representasi. Paparan contoh di atas mempunyai arti (meaning) yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung, misalnya untuk menangkap arti atau meaning sebuah lukisan diperlukan interpretasi. Tuturan mitologis dibuat untuk komunikasi dan mempunyai suatu proses signifikasi sehingga dapat diterima oleh akal.

Dalam hal ini mitos tidak dapat dikatakan hanya sebagai suatu objek, konsep, atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi. Dengan demikian maka mitos tergolong dalam suatu bidang pengetahuan ilmiah, yakni semiologi.

E. Semiotika dan Komunikasi

Komunikasi melibatkan tanda dan kode. Tanda adalah material atau tindakan yang menunjuk pada ‘sesuatu’, sementara kode adalah sistem dimana tanda-tanda diorganisasikan dan menentukan bagaimana tanda dihubungkan dengan yang lain. Pada tulisan ini pemahaman tentang komunikasi diadopsi dari definisi yang dikemukakan oleh John Fiske, yakni komunikasi sebagai “interaksi sosial melalui pesan”.

Pada dasarnya studi komunikasi merefleksikan dua aliran utama, yakni aliran proses dan aliran semiotik. Pada aliran pertama, basis pengertiannya cenderung linear, seperti halnya definisi komunikasi yang menyatakan bahwa ‘komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan.’ Aliran ini memberi perhatian utama pada bagaimana sender mentransmisikan pesan kepada receiver melalui channel. Model Laswell seringkali menjadi rujukan utama (rumus SMCRE: Source, Messages, Channel, Receiver, dan Effect) untuk menggambarkan bagaimana komunikasi berlangsung.

Dalam aliran proses, efisiensi dan akurasi seringkali mendapat perhatian penting, sehingga ketika efektivitas komunikasi dinilai kurang atau gagal maka pemeriksaan akan segera dilakukan pada elemen-elemen proses itu untuk menemukan letak kegagalan dan kemudian memperbaikinya. Pendekatan ini terlihat mekanistik, karena berupaya menyederhanakan komunikasi dalam suatu model yang secara pasti dapat ditengarai dan dilucuti satu persatu unsur-unsurnya tanpa terlalu memperhitungkan bagaimana mementingkan makna-makna yang bersifat subyektif.

Berbeda halnya dengan tradisi pertama, perspektif kedua memandang komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna (productions and exchange of meaning). Pandangan ini memperhatikan bagaimana pesan berhubungan dengan penerimanya untuk memproduksi makna. Jika aliran proses memperlihatkan penguasaan makna pada sumber atau pengirim pesan, aliran semiotik justru membalik peran penguasaan makna kepada penerima pesan. Penerima pesan mempunyai otoritas mutlak untuk menentukan makna-makna yang ia terima dari pesan, sehingga peran sender cenderung terabaikan.

Demikian juga, apa yang disebut sebagai pesan (message) pada paradigma ini seringkali disebut sebagai teks. Dalam kaitannya dengan produk media, seluruh pesan media dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks. Jangkauan pemaknaan akan sangat tergantung pada pengalaman budaya dari receiver, yang dalam paradigma semiotik disebut sebagai ‘pembaca’ (reader). Tradisi semiotika tidak pernah menganggap terdapatnya kegagalan pemaknaan, karena setiap ‘pembaca’ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca.

Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya.

Pusat perhatian semiotika pada kajian komunikasi adalah menggali apa yang tersembunyi di balik bahasa. Terobosan penting dalam semiotika adalah digunakannya linguistik sebagai model untuk diterapkan pada fenomena lain di luar bahasa.

F. Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean karena ia berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Salah satu area penting yang dirambah Roland Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader).

G. Pengertian Konotasi dan Denotasi

Walaupun merupakan sifat asli tanda tetap membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua (two order significations) yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Tradisi semiotika pada awal kemunculannya cenderung berhenti sebatas pada makna-makna denotatif alias semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni pada level konotasi. Pada tingkat inilah warisan pemikiran Saussure dikembangkaln oleh Barthes dengan membongkar praktik pertandaan di tingkat konotasi tanda. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.

Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Saussure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif (Manneke Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004: 255).

Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik. Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk sebuah konotator tunggal.

Dalam iklan televisi, susunan tanda-tanda verbal nonverbal dapat menutupi pesan yang ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya meninggalkan ‘pesan lain’, yakni sesuatu yang berada di bawah citra kasar alias penanda konotasinya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis.

Dapat dikatakan bahwa ideologi adalah suatu form penanda-penanda konotasi, sementara tampilan iklan melalui ungkapan atau gaya verbal, nonverbal dan visualisasinya merupakan elemen bentuk (form dalam realitas yang termediasi, banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang dalam bahasa Barthes disebut sebagai ‘adibahasa’) dari konotator-konotator. Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya.

Secara semiotis, ideologi merupakan penggunaan makna-makna konotasi tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga.

Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi, hal ini mengacu pada anggapan umum, makna jelaslah tentang tanda. Sebuah foto tentang tanda keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu, kata “jalan” mendenotasi jalan perkotaan yang membentang di antara bangunan. Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Sebagai contoh, di dalam kamus, kata melati berati ‘sejenis bunga’.

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Harimurti Kridalaksana (2001:40) dalam Sobur (2003:263) mendefinisikan denotasi (denotations) sebagai “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas (Strinati, 1995: 113).

Makna denotatif merupakan makna objektif (makna sesungguhnya dari kata tersebut). Makna denotatif disebut juga dengan beberapa istilah lain seperti; makna denotasial, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial atau makna proposional.

Disebut makna denotasial, referensial, konseptual atau ideasional, karena makna itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep atau ide tertentu dari referen.

Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan respon (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap pancaindra (kesadaran) dan rasio manusia.

Disebut makna proporsional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Jika kita mengucapkan sebuah kata yang mendenotasikan suatu hal tertentu maka itu berati kata tersebut ingin menunjukkan, mengemukakan dan menunjuk pada hal itu sendiri.

Dengan pengertian tersebut kita dapat mengatakan bahwa kata ayam mendenotasikan atau merupakan sejenis unggas tertentu yang memiliki ukuran tertentu, berbulu, berkotek dan menghasilkan telur untuk sarapan. Kamus umum berisikan daftar aturan yang mengaitkan kata-kata dengan arti denotatifnya, dan kita dapat membaca, menulis dan mengerti berbagai kamus karena kita sama-sama memakai pengertian yang sama tentang kata-kata yang terdapat dalam kamus tersebut.

Sedangkan konotasi (connotation, evertone, evocatory) diartikan sebagai aspek makna atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau yang ditimbulkan pada penulis dan pembaca.

Misalnya kata amplop, kata amplop bermakna sampul yang berfungsi tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain atau kantor, instansi, jawatan lain. Makna ini adalah makna denotasinya. Tetapi kalimat “Berilah ia amplop agar urusanmu segera beres,” maka kata amplop dan uang masih ada hubungan, karena amplop dapat saja diisi uang.

Dengan kata lain, kata amplop mengacu kepada uang, dan lebih khusus lagi uang pelancar, uang pelicin, uang semir atau uang gosok. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Foto khayalan tentang jalan yang sama; perbedaan antara keduanya terkait dengan bentuk, tampilan foto atau dalam penandanya. Barthes menegaskan bahwa setidaknya pada foto, perbedaan antara konotasi dan denotasi menjadi jelas.

Denotasi merupakan reproduksi mekanis di atas film tentang objek yang ditangkap oleh kamera. Konotasi adalah bagian manusiawi dari proses ini; mencangkup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai, fokus, sudut pandang kamera, mutu film dan sebagianya.

Denotasi adalah apa yang difoto, sedangkan konotasi adalah bagaimana memfotonya. Nada suara, cara bicara, musik, mengkonotasi perasaan atau nilai tentang apa yang kita katakan. Seringkali terjadi bahwa apa yang dikatakan bermakna lain dari makna yang tersirat dalam rangkaian kata yang dipergunakan.

Dalam hal ini peranan intonasi (nada bicara) dapat mengubah makna sebuah kalimat. Misalnya, “Anda memang sangat pintar!” atau “Memang Andalah gadis yang paling cantik di antero dunia!”, yang dimaksudkan dari pernyataan tersebut sebenarnya dimaksudkan bahwa ia adalah seseorang yang sangat bodoh atau ia adalah gadis yang sangat jelek. Intonasi yang berbeda dapat mengubah makna sebenarnya. Musik juga dapat mengkonotasikan perasaan atau nilai apa yan kita katakan, dalam musik Italia allgro ma non troppo merupakan instruksi komposer tentang cara memainkan not, mengenai apa nilai konotatif atau emosional yang disampaikan. Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu.

Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih sedikit. Jadi, sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa’, baik positif maupun negatif. Jika tidak mempunyai nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi negatif (netral) dalam sobur (2003:264).

Kadang-kadang konotasi suatu kata sama bagi hampir setiap orang, namun kadang-kadang hanya berkaitan dengan pengalaman satu individu saja, atau lebih sering berkaitan dengan sekelompok kecil individu tertentu.

H. Analisi Kritik Ideologi

Topik-topik dalam mithologi yang ditulis Barthes berkisar pada opini biasa. Dalam salah satu artikelnya, Barthes membahas tentang “gulat”, yang dikatakannya bahwa gulat itu adalah sebuah pertunjukan, padahal secara umum gulat merupakan salah satu cabang olah raga. Alasannya, gulat bukan hanya sebagai olah raga yang mengandalkan kekuatan fisik tetapi lebih dari suatu peperangan yang mempermasalahkan antara ”baik” dan ”jahat”. Dalam “gulat” terdapat dua tingkatan pesan yakni pertama adalah pesan “olah raga”, dan kedua adalah pesan moral tentang “baik dan jahat”.

Kedua jenis pesan tersebut merupakan bagian dari kepuasan penonton, yakni kepuasan terhadap konflik tentang “baik dan buruk” yang dikemas dalam pertunjukan gulat, sehingga pesan yang sebenarnya dalam pertunjukan gulat bukanlah persoalan estetika tetapi sudah ke taraf ideologis. Contoh yang lain adalah dalam artikel wine atau anggur (Barthes 1972:58). Anggur dalam kebudayaan Perancis merupakan simbol status sosial yang tinggi “keperancisan” dan virtilitas. Pesan yang ditampilkan oleh anggur Perancis adalah suatu “kualitas yang baik”. Tetapi mitos ini harus dipertanyakan karena bukankah anggur Perancis merupakan suatu barang komoditas seperti barang lainnya yang diproduksi rejim kapitalis. Di sisi lain, daerah bagian dari utara Afrika dijadikan sebagai tempat penanaman anggur (vineyard) yang sebenarnya, lahan tersebut lebih dikenal untuk tempat memproduksi makanan, mereka yang bekerja di lahan anggur adalah mayoritas populasi muslim. Jadi dalam hal ini Perancis yang dimitoskan sebagai Negara Anggur yang berkualitas terbaik telah merusak dan mengalienasikan lingkungan dan kultur orang-orang Afrika Utara. Dalam contoh di atas terdapat dua lapisan logika “mitologi”, pertama pesan dibaca sebagai isi pesan tentang sikap dan budaya, yang kedua, adanya suatu keinginan untuk menyembunyikan identitas yang sangat eksploitatif dengan mengungkapkan kerja struktur sosial ekonomi yang terpendam.

Contoh yang sama dikemukakan Barthes dan soap-powder (Barthes 1972:36) iklan sabun milik perusahaan raksasa “PT Unilever”, bahwa segala sesuatu yang ditonjolkan oleh mitos adalah segala sesuatu yang bersifat alamiah dan lazim. Di sisi lain menurut Barthes, bahwa kita harus jeli dalam melihat apa yang dipresentasikan di hadapan kita. Sesungguhnya segala sesuatu itu tidak ada yang wajar, lazim atau alamiah karena semua itu adalah rekayasa yang mengandung sarat pandangan ideologis, untuk kepentingan sepihak, misalnya minum anggur merupakan pernyataan untuk mengatakan bahwa peminumnya tahu tentang budaya Perancis, mereka termasuk golongan elit dan sekaligus mempertahankan sistem kapitalisme.

Dalam hal ini Barthes memang banyak mengkritik sistem kapitalis dan terutama politik seperti Le Pen, seorang tokoh rasis yang mempimpin Front Nasional. Contoh-contoh ideologi terpendam lainnya dalam buku Mithologies Barthes adalah rasisme, kolonialisme, stereotip gender, dan propaganda perang dingin. Studi mitos bukan saja terkonsentrasi pada pengeksposan posisi ideologis tetapi analisis bagaimana pesan dikonstitusikan. Mitos menurut Barthes adalah suatu “sistem komunikasi suatu pesan” (Barthes 1972:109). Barthes dalam hal ini membahas mitos lebih seruis dan menuangkannya pada bagian Myth Today dalam bukunya yang berjudul Mythologies.

I. Mitos Sebagai Sistem Semiologi

Dalam hal hubungan mitos dan semiologi, Barthes berhutang budi pada Saussure. Sebab Saussure melihat studi linguistik sebagai studi kehidupan tanda dalam masyarakat, yang kemudian diadopsi dengan nama semiologi. Semiologi berasal dari kata semion yang berarti tanda. Semiologi tidak berurusan dengan isi melainkan dengan bentuk yang membuat suara, imaji, gerak, dan seterusnya yang berfungsi sebagai tanda. Mitologi terdiri dari semiologi dan ideologi. Semiologi sebagai formal science dan ideologi sebagai historical science.

Mitologi mempelajari tentang ide-ide dalam suatu bentuk

Mitos yang berurusan dengan semiologi telah berkaitan dengan dua istilah, yakni penanda signifier (significant) dan petanda signified (signife), dan kemudian bertautan lagi dengan istilah sign (tanda). Misalnya satu karangan bunga menandakan cinta. Dalam hal ini berarti tidak hanya berurusan dengan signifier dan signified, bunga dan cinta, karena dalam tahap analisis terdapat tiga istilah, bunga yang menandakan cinta adalah sebagai tanda (sign).

Dalam hal ini signifier adalah suatu konsep bahasa (bunga), signified adalah gambaran dari mental bunga, dan sign merupakan hubungan antara konsep dan gambaran mental yang melahirkan suatu arti, yakni: cinta. Jika hal tersebut diterapkan pada contoh psikis (Freud), bahwa psikis manusia adalah representasi. Misalnya, di satu pihak terdapat tingkah laku seseorang yang telah dipengaruhi oleh mimpi-mimpinya, di lain pihak terdapat sign yang mengartikan kejanggalan tingkah laku orang tersebut, kesalahan-kesalahan tuturannya atau hubungan keluarganya. Berkaitan dengan contoh tersebut Barthes cenderung memisahkan ketiga istilah signifier, signified, dan sign sebagaimana tampak pada bagan berikut:

Di dalam mitos kita menemukan ketiga pola di atas, yakni signifier, signified, dan sign, tetapi mitos mempunyai sistem yang lebih unik karena sistem semiologisnya dikonstruksi dari sistem semiologis sebelumnya, yakni sign atau tanda.

Di dalam mitos terdapat dua sistem semiologi. Pertama kita melihat bahasanya atau modus representasinya seperti fotografi, lukisan, poster, ritual atau objek lainnya yang disebut dengan objek bahasa atau meta-language, karena bahasa mitos merupakan bahasa kedua, dari pembicaraan bahasa pertamanya. Ketika seorang semiolog mulai merefleksikan meta-laguange, yang paling diperlukan adalah tanda global atau sign, ia tidak lagi membutuhkan komposisi bahasa, dan tidak memerlukan skema linguistik.

Sebagai contoh terkenal, Barthes mengetengahkan Paris-Match. Kepada seorang tukang cukur Barthes mengatakan bahwa ia sedang membaca Paris-Match. Pada halaman depan ia melihat gambar seorang Negro memakai seragam militer Perancis sedang memberi hormat, dengan gagahnya, matanya tajam ke atas. Dalam deskripsi contoh tersebut, kita melihat arti gambar, tetapi lebih lanjut lagi kita dapat melihat makna dari gambar tersebut, artinya bisa melihat lebih dari sekadar sebuah gambar. Kita bisa melihat pesan yang ingin disampaikan dari balik gambar yang dibuat, yakni Perancis merupakan sebuah daerah kekuasaan besar, tanpa membedakan diskriminasi warna kulit, di bawah benderanya, dan tanpa mempunyai rasa dendam kolonialisme, Negro yang digambarkan dalam adegan tersebut mempunyai makna ingin melayani negaranya. Namun lebih lanjut kita dihadapkan oleh sistem semiologi yang lebih besar terdapat pada signifier yang telah dibentuk oleh sistem semiologi sebelumnya yakni seorang Negro yang sedang memberi hormat, yang memberi signified.

Perancis dan militer, yang kemudian memberi sign baru lagi tentang imperialime Perancis.

Jika kita telah melihat bahwa ada dua lapisan dalam sistem semiologi yakni ada sistem lingustik dan sistem mitos, hal ini oleh Barthes dibedakan menjadi dua istilah. Dalam lapisan bahasa, signifier disebut meaning (seorang Negro memberi hormat), tetapi dalam lapisan mitos disebut bentuk. Untuk kasus signified tetap sama karena tidak menimbulkan keambiguan yakni konsep. Di dalam bahasa linguistik sign dipakai dalam hubungan antara signifier dan signified. Tetapi di dalam mitos sign merupakan keseluruhan dari hasil sistem semiologi terdahulu, jadi bagi mitos disebut signifikasi atau signification. Karena pada dasarnya mitos mempunyai dua fungsi: mitos dalam hal “menunjukkan dan memberitahu sesuatu” agar pembaca mengerti tentang sesuatu dan sekaligus bertujuan untuk memperdayakan.

Signifier dari mitos sekaligus merupakan meaning dan form. Meaning dapat diperoleh dengan cara menangkap lewat indera, tidak seperti signifier linguistik melalui mental, signifier mitos menangkap realitas sensoris. Pemberian hormat yang dilakukan oleh seorang Negro seperti yang terlihat pada tampilan ilustrasi ini, misalnya. Meaning dari mitos mempunyai nilai tersendiri, mempunyai sejarahnya tersendiri juga dan significationnya telah dibangun sebelumnya ketika mitos menstransformasikan ke dalam bentuk kosong dan praktis menjadi suatu bentuk. Di saat menjadi bentuk, meaning menghilang, sejarah pun juga menghilang, tinggal kata-kata. Pengetahuan yang baru yang kita peroleh ialah pengetahuan yang dibungkus oleh konsep mitos. Konsep yang didapat bukan suatu abstraksi dari signifier tetapi ia sama sekali tidak berbentuk. Konsep adalah elemen yang mengkonsitusikan mitos dan bila kita ingin menguraikan mitos, kita harus dapat menemukan konsep mitos tersebut. Misalnya konsep kebaikan, kesatuan, kemanusiaan, dan sebagainya. Signification adalah istilah ketiga yang digunakan sebagai kesatuan sign, suatu yang dihasilkan dari bentuk dan konsep. Signification juga berarti proses mitos yang terus-menerus dapat menjadi sign baru dan kemudian menjadi mitos yang baru pula.

J. Membaca dan Mendeteksi Mitos

Untuk mengetahui atau mendeteksi mitos dapat dengan cara mengetahui karakter-karakter mitos seperti yang dikatakan Barthes sebagai berikut :

1. Tautologi

Suatu pendefinisian dari suatu pernyataan yang tidak dapat diperdebatkan lagi, misalnya : “karena dari sananya sudah begitu” isi dari pernyataan tersebut telah direduksi menjadi penampilan. Sebagai contoh lain adanya suatu pernyataan-pernyataan hampa seperti “ Midnight’s Summer Dream adalah karya Shakespere“ tidak mengatakan apa-apa tetapi mengandung implikasi lainnya seperti prestise karena dalam pernyataan itu terdapat nama Shakespere.

2. Identifikasi: perbedaan, keunikan direduksi menjadi satu identitas fundamental.

Misalnya: “semua agama adalah sama” atau sama sekali diasingkan dibuat agar tidak dimengerti.

3. Neither-norism (bukan ini bukan itu)

Orang yang menganut opini dalam posisi di tengah tidak berani memilih/memihak.

4. Mengkuantitaskan yang kualitas

Kualitas direduksi ke kuantitas, semua tingkah laku manusia, realitas sosial dan politik direduksikan kepada pertukaran nilai kuantitas. Sebagai contoh misalnya kesuksesan sebuah karya seni jika menghasilkan banyak uang, demikian pula untuk mengukur kesuksesan seorang aktor atau aktris. Masalah besar seperti kemiskinan direduksi menjadi angka-angka belaka.

5. Privatisasi Sejarah

Mitos membuang arti sejarah yang sebenarnya, sejarah hanya diperuntukkan sajian tamu/pejabat misalnya objek seni untuk turis, atau sebagai pertunjukan (Barthes, 1972:74)

Secara kasat mata mitos sulit untuk dideteksi, karena mitos cenderung mentransformasikan sejarah kepada sesuatu yang natural (alamiah) dan mengacaukan pembaca bahwa apa yang dibaca konsumen adalah “natural atau seharusnya begitu”. Mitos mempunyai tujuan tidak ingin menyembunyikan sesuatu, dengan cara mengacaukan pembaca. Mitos tumbuh dari konotasi (dari perkembangan konotasi yang semakin mantap). Barthes mengatakan bahwa “kita hidup bukan di antara benda-benda melainkan dari opini-opini yang sudah diyakinii”. Kekuatiran Barthes dalam hal ini adalah jika opini-opini yang diyakini tersebut dianggap wajar dan alamiah, sebab yang dianggap wajar adalah kekuatan yang dominan. Misalnya dalam koran Kompas terdapat headline “Pemerintah Menurunkan Angka Kemiskinan dari 40% Menjadi 21%”. Bagi konsumen/pembaca mitos, pernyataan dari headline tersebut dianggap baik, tetapi jika yang menangkap pemberitaan tersebut seorang semiolog, ia akan menggunakan sistem semiologis dalam menangkap motif pemberitaan itu, sehingga muncul pemikiran sampai pada penguasaan pemerintah pada negara karena dalam hal itu pemerintah telah memastikan setiap angka-angka yang turun dan naik, selain itu bisa diinterpertasikan jika pernyataan 21% itu adalah benar berarti masih ada 37 juta orang yang masih miskin, akan muncul pertanyaan program apa yang akan digunakan untuk menepis 37 juta orang miskin tersebut?

Pada prinsipnya menurut Barthes mitos adalah penaturalisasian (naturalization) konsep. Konsumen mitos hanya berhenti pada bahasa linguistik sehingga ia menerima fakta sebagai fakta, yang benar-benar terjadi tanpa melihat mitos sebagai sistem semiologis.

Dalam Mythologies, Barthes sering kali mengemukakan kritiknya terhadap aliran politik kanan yakni kaum bourgeois.

Menurut Barthes masyarakat Perancis adalah masyarakat bourgeoisie (borjuis) hal tersebut bisa dilihat dari kultur sampai sistem ekonomi telah berpihak pada sistem kapitalisme.

Ideologi kaum borjuis adalah ideologi yang suka kemasan kosmetik dan sering kali meninggalkan essensi. Tuturannya bersifat moralistik, palsu, dan bergaya teater, Misalnya tokoh-tokoh masyarakat yang gemar tampil dihormati bila berkunjung ke suatu daerah, menyukai suguhan tarian tradisional dan arak-arakan. Ia senang diperlakukan seperti raja kecil atau petite bougeoies. Tokoh-tokoh yang suka tampil suci, takut, berpihak dan mengeluarkan kata-kata seperti seseorang yang bijak misalnya menggunakan kata-kata: ngemong ,membimbing, ngayomi, dan sebagainya. Kaum tertindas adalah kaum yang tidak memiliki apa-apa, kaum yang hanya mengenal satu bahasa, satu seragam. Sebaliknya yang menindas adalah mereka yang mempunyai dunia ini yang menentukan bahasa dan seringkali menggunakan metabahasa yang hampa, kosong, sehingga rakyat menjadi penyantap mitos yang setia. Mitos di dalam masyarakat borjuis adalah juga pengguna tuturan yang didepolitisasikan. Artinya segala sesuatu dianggap wajar dan benar samasekali, tidak menganggap bahwa segala sesuatu itu bersifat politis.

Mitos juga dapat eksis di kalangan politik kiri. Pada kalangan politik kiri justru mempolitikkan segala sesuatu dan sifatnya cenderung revolusioner. Tetapi bukan berarti mitos di kiri tidak terjadi. Mitos di sini terjadi bila kaum kiri menjadi defensif dan menganggap komunis adalah satu-satunya yang benar, sama halnya bagi mereka yang menganut satu ideology secara fanatik sehingga menjadi defensif.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Teori semiologi Roland Barthes (1915-19980) jelas sangat erat dengan teori semiologi Ferdinand de Saussure (1857-1913). Perbedaannya, Saussure sebagai bapak semiotik menyatakan bahwa “bahasa adalah suatu sistem tanda” lebih bersifat dikotomik. Sedangkan Barthes lebih triadik dengan ketiga elemennya yakni signifier,signified, dan sign. Selain itu semiotiknya bergerak lebih luas. Melihat hal ini kita bisa mengkomparasikan semiotik Barthes dengan Peirce yang juga bersifat triadik: sign, object, interpertant.

Kesamaannya adalah mereka menggunakan semiotik dalam banyak bidang. Bagi Peirce yang perlu digarisbawahi adalah aspek interpertasi. Setiap tanda dapat diinterpertasikan secara terus-menerus.

Tetapi bagi kedua tokoh Roland Barthes maupun Peirce, semiotik atau semiologi adalah alat untuk berpikir kritis. Bila Barthes mengatakan kita harus menguraikan mitos, Pierce mengatakan kita harus menguraikan teks.

Comments

Popular posts from this blog

TEORI KOMUNIKASI MODEL SHANNON DAN WEAVER

PEMBIDANGAN HUKUM BESERTA CONTOHNYA

Contoh Makalah Disorganisasi Keluarga (Perceraian)