LISTENING (MENYIMAK DALAM BERKOMUNIKASI), MISUNDERSTANDING


PENGANTAR

Tulisan ini membahas tentang proses listening. Dalam konteks istilah, yang dimaksud dengan listening adalah menyimak, yaitu proses komunikasi dimana penyimak memberi perhatian atas apa yang disampaikan oleh pembicara, mencatat dan melakukan tindakan sesuai pesan yang disampaikan pembicara, memberikan saran atau masukan, dan usaha untuk memaknai pesan pembicara. Listening berbeda dengan hearing (mendengar). Mendengar adalah menerima suara dengan menggunakan telinga, tanpa adanya proses pemaknaan selanjutnya. Tanpa usaha atau perhatian yang khusus, setiap saat manusia mendengar suara dari luar, baik itu yang bersumber dari seseorang maupun yang bersumber dari benda. Sedangkan dalam proses menyimak membutuhkan usaha dan perhatian untuk bisa memaknai pesan.
 
Menyimak merupakan proses komunikasi yang paling sering dan paling pertama kali dilakukan atau dialami manusia. Bahkan janin di dalam kandungan sudah mengalami proses menyimak dengan menangkap dan merespon suara-suara yang ia dengarkan dari dalam perut ibunya. Hingga sekarang, manusia dewasa mengalami proses menyimak lebih dari separuh hari dalam kehidupannya (Emanuel Adams, Baker, Daufin, Ellington, Fitts, et al., 2008)

PEMBAHASAN
Beberapa poin tentang menyimak yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu :

1. Proses Menyimak

1.1. Receiving
Menyimak dan mendengar bukanlah fungsi yang sama. Mendengar adalah proses masuknya gelombang suara melalui telinga dan kemudian dikirim ke otak. Sedangkan menyimak merupakan proses yang lebih rumit. Setelah gelombang suara dikirim ke otak, ada proses berikutnya yang harus dilalui ketika kita menyimak. Menyimak tidak hanya dipengaruhi oleh audio dan visual saja, melainkan ada juga peran sense, emosi, rasa, sentuhan, dan sebagainya yang juga berpengaruh dalam proses penyimakan.

1.2. Attending
Baddeley & Hitch (1974) menyatakan bahwa setelah pesan diterima secara audio (dan visual), maka pesan tersebut akan bertemu dengan apa yang disebut dengan memori.
 
Short Term Memory (STM) merupakan memori jangka pendek yang memegang informasi dalam jumlah yang sangat terbatas dan jangka waktunya berbeda-beda pada masing-masing orang. Menurut psikolog kognitif, atensi (perhatian) merupakan kombinasi dari system sensor dan mekanisme memori. Salah satu factor yang bisa mempengaruhi system sensor dan mekanisme memori adalah peran media. Karena pengaruh media, jangka waktu seseorang dalam memberikan perhatian dan konsentrasi pada sebuah hal menjadi semakin terbatas. Di “era televisi” seperti sekarang, orang sudah terbiasa dengan hadirnya iklan di setiap tayangan program. Rata-rata jeda iklan satu dengan iklan berikutnya adalah 7-10 menit, sehingga lamanya waktu dalam memperhatikan menjadi tersistem mengikuti pola tersebut. Dengan demikian akan mempengaruhi juga misalnya pada : perhatian waktu menyimak kuliah, partisipasi ketika terlibat pembicaraan, lamanya waktu menyimak (berkonsetrasi) menjadi terbatas.
 
Menurut Kahneman (1973), kemampuan penyimak dalam memperhatikan pesan dipengaruhi oleh energi atensi. Energi atensi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu : 
  1. Berdasarkan beban mental, semakin banyak beban pada diri seseorang maka akan semakin terbatas energy atensi dari seseorang; 
  2. Tindakan di luar kesadaran (misalnya, orang akan lebih focus memperhatikan ketika namanya disebut dalam sebuah pesan yang ia dengar); 
  3. Keputusan yang disadari (misalnya, kita cenderung memperhatikan pesan yang disampaikan oleh atasan daripada yang disampaikan oleh rekan kerja kita).
1.3. Perceiving
“what we see and hear is we want to see and hear”
Pada dasarnya kita mendengar atau melihat sesuatu yang ingin kita dengar atau lihat.
Mempersepsikan pesan tidak hanya dipengaruhi oleh energy atensi, melainkan juga oleh perceptual filter. Perceptual filter berfungsi untuk menyaring atau memilih pesan berdasarkan kecenderungan perilaku dan pola pikir penyimak. Kecenderungan ini dipengaruhi oleh frame of references masing-masing penyimak. Sedangkan frame of references seseorang dipengaruhi oleh pengalaman, peran, kondisi mental atau fisiknya.
 
Frame of references akan membuat proses menyimak menjadi lebih sistematis. Dengan adanya frame of references, seseorang akan benar-benar memilih mana yang sebenarnya ingin ia dengar, dan mana yang tidak ketika berkomunikasi.

1.4. Interpretting
Menterjemahkan merupakan awal dari proses decoding. Proses menterjemahkan dipengaruhi oleh perceptual filter dan linguistic category system (system kebahasaan). Sistem kebahasaan menyebabkan setiap orang bisa memiliki pemaknaan yang berbeda-beda terhadap suatu hal (pesan). Misalnya seorang yang menyampaikan pesan dengan kalimat yang ambigu, maka bisa saja pesan tersebut dimaknai berbeda oleh penyimaknya.
 
Selain dua hal tersebut di atas. proses kognitif juga berpengaruh pada proses penterjemahan. Proses kognitif merupakan aktifitas mental yang dibentuk oleh : dominasi otak kanan dan kiri; orientasi deduktif, induktif dan intuisi; serta long term memory. Dalam keseharian, setiap orang bertemu dengan ketiga proses kognitif tersebut, sehingga kemampuan untuk memanggil kembali informasi atau memori yang tersimpan menjadi penting dalam proses komunikasinya.
 
Proses decoding menjadi sebuah proses yang komplek dalam memaknai dan menerjemahkan pesan. Untuk menggambarkan kompleksitas tersebut, psikologi kognitif menggunakan “teori skema” (kerangka mental yang berpusat pada tema-tema spesifik yang membantu mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi). Skema dibentuk oleh pengalaman dan budaya (berhubungan dengan nilai-nilai). Teori skema mengatakan bahwa manusia memiliki skemata di otaknya. Schemata terdiri dari 2 unsur yaitu nodes (pusat, sentral, event, objek) dan links (relationship, cabang-cabang dari nodes). Informasi baru yang didapat oleh penyimak, diterima pertama kali melalui schemata, baru setelah itu diterjemahkan maknanya. Fungsi schemata yaitu menghubungkan konsep informasi besar yang diterima (nodes) dan links, keduanya lalu dikaitkan ke suatu tindakan untuk dapat mengantisipasi konsekuensi atau resiko.
 
Menurut Smith (1982), fungsi schemata ada 3, yaitu : 
  1. Memberi tahu kita, apa hal yang perlu diperhatikan; 
  2. Kerangka kerja (framework) untuk menafsir informasi apa yang masuk; 
  3. Membentuk kerangka penyimpanan pesan di memori.
Dengan begitu, respon kognitif terhadap pesan berfungsi untuk membatasi interpretasi penyimak terhadap informasi yang diterima.

1.5. Responding
Setelah memaknai sebuah pesan, penyimak lalu menanggapinya (merespon). Ada 2 tahapan respon yaitu internal dan eksternal. Proses internal adalah tahapan dari proses mendengarkan, memperhatikan , dan menginterpretasikan pesan dari memori jangka pendek (STM) ke memori jangka panjang (LTM) agar dapat diingat sewaktu-waktu.

Untuk memudahkan dalam penyimpanan memori tersebut, ada beberapa strategi yang bisa digunakan yaitu : 
  1. Mnemonic device, membikin singkatan pribadi untuk memudahkan pemahaman terhadap sebuah pesan; 
  2. Linking, membuat keterkaitan hubungan dengan yang lain (peristiwa, waktu, tempat, dsb); 
  3. Clustering, mengelompokkan pesan sesuai dengan klasifikasinya (penentuan pengelompokan ini tergantung atas pengalaman pribadi penyimak); 
  4. Chunking (menggabungkan pesan agar dapat diartikan menjadi satu konsep).
Proses kedua adalah eksternal, yang merupakan feedback dari sebuah pemaknaan pesan. Dapat memberikan feedback atas pesan yang diterima merupakan salah satu indikasi seorang penyimak yang baik.
Adanya feedback dapat meningkatkan rasa percaya diri, karena baik penyimak dan pembicara memperoleh keyakinan bahwa pesan dikomunikasikan dengan tepat (Leavit and Muller, 1968).
 
Bagi sebagian pakar, feedback bukan merupakan bagian dari proses menyimak karena feedback bentuknya sudah menyampaikan (tidak lagi mendengar). Tapi ada juga yang berpendapat bahwa feedback merupakan indikasi keberhasilan dari proses menyimak.

Proses Receiving, Attending, Perceiving, Interpretting dan Responding dipengaruhi oleh banyak faktor seperti : pembicara, penyimak, lingkungan, pesan, dan chanel. Kelima proses menyimak tersebut saling mempengaruhi dan dalam prakteknya (dapat) terjadi secara bersama-sama. Misalnya ketika seseorang sedang menterjemahkan pesan, pada saat itu juga terjadi proses menerima dan mempersepsikan pesan (bisa pesan yang sama ataupun berbeda).

2. Variabel Menyimak
Beberapa faktor yang dapat mendukung atau menghambat “effective listening” yaitu :

2.1. Pengaruh Fisiologis
Hal yang sangat mendasar dalam proses menyimak adalah kepekaan sensori terhadap suara dan visual. Faktor usia dapat mengakibatkan berkurangnya kepekaan mekanisme sensori dalam komunikasi. Ada beberapa faktor yang fisiologis yang merupakan variabelmenyimak, yaitu faktor neurologis, factor usia, dan factor gender.
 
Faktor neurologis. Keadaan neurologis memegang peranan cukup besar. Hasil penelitian mengatakan bahwa otak kiri memiliki kemampuan berpikir yang rasional, obyektif dan sistematis. Sedangkan otak kanan lebih kepada kemampuan mengolah emosi dan intuisi. Fungsi otak yang masih baik mendukung menyimak menjadi lebih efektif.
 
Faktor usia. Kompetensi mendengar secara efektif dapat berubah secara fisiologis, sosiologis dan atau usia berkomunikasi (Halone, Cunconan, Coakley, & Wolvin, 1998). Semakin berumur, semakin banyak pengalaman penyimakannya dan semakin banyak juga pengetahuannya. Antara usia anak-anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut memiliki kebutuhan, tujuan, dan strategi mendengar yang berbeda-beda tergantung “listening expectation” (harapan) dan “listening experience” (pengalaman) yang mereka miliki.
 
Faktor gender. Ada sebuah anggapan di Amerika Utara bahwa menyimak adalah pekerjaan atau keahlian perempuan “Listening is a Womens Work”. Beberapa peneliti (Phillips, Lowe, Lurito, Dzemidzic, & Mathews, 2001) berpendapat bahwa dalam suatu interaksi komunikasi, laki-laki dan perempuan memiliki aspek atensi dan kognitif yang berbeda. Laki-laki cenderung mendengarkan fakta, sedangkan perempuan cenderung memperhatikan mood atau suasana hati (Booth-Butterfield, 1984, p.39).

2.2. Pengaruh Psikologis
Dalam bab ini beberapa ahli berpendapat tentang faktor-faktor psikologis dan perilaku yang mempengaruhi proses menyimak. Perilaku menyimak yang positif dan pengetahuan tentang (proses) menyimak merupakan faktor penting untuk mencapai penyimakan yang efektif. Perilaku yang positif memberikan penyimak keinginan atau kesediaan untuk mendengarkan. Beberapa perilaku positif (positive attitude) antara lain adalah perilaku yang memunculkan ketertarikan, melakukan pendekatan yang aktif dan pendekatan dengan rasa tanggung jawab. Penyimak yang efektif selalu berpikir terbuka dan bersedia untuk mendengarkan meskipun kadang isi pembicaraannya tidak menarik.
 
Dalam berkomunikasi, kadang penyimak juga mengalami kecemasan (receiver apprehension). Wheeless ( 1975) telah merintis beberapa studi tentang kecemasan ini yaitu, “ketakutan akan salah tafsir, tidak cukup memproses, dan atau tidak mampu menyesuaikan terhadap psikologis pesan yang dikirim oleh orang lain” (hal. 263). Kecemasan ini muncul dari situasi yang penuh tekanan yang dapat mengakibatkan pesan yang disampaikan menjadi terdistorsi dan gagal mencapai pemahaman. 

Menurut McReynold (1976) dan Beatty (1981), kecemasan bisa muncul akibat penyimak tidak sempurna dalam memproses informasi. Informasi yang sulit untuk dicerna atau dipahami, pada akhirnya akan menumpuk dan membentuk “cognitive backlog” sampai akhirnya memunculkan kecemasan.
 
Sedangkan (Wheeless, Frymier and Thompson, 1992) menjelaskan tentang “receptivity” yaitu membuka diri untuk menerima pengaruh dan bahwa receptivity mempunyai hubungan erat dengan: (1). Perilaku menyimak; (2). Responsiveness (kemampuan untuk memberi respon); dan (3). Perhatian khusus (attentiveness). Roberts and Vinson (1998) menyatakan bahwa topic ini (receptivity) merupakan faktor penting untuk membangun kesediaan penyimak untuk mendengarkan (a listener’s willingness to listen).
 
Listener’s willingness to listen bergantung pada preference penyimakan (apa yang ingin didengarkan). Penyimak memilih cara yang berbeda untuk mendengarkan, pilihan ini didasarkan pada respon kebiasaan yang berkembang selama hidup seseorang dalam mendengarkan.

Watson, Barker, dan Weaver (1995) mengidentifikasikan 4 gaya menyimak yang berbeda :
  • People Oriented (orientasi pada orang atau lawan bicara) focus pada aspek emosional dan rasional dalam suatu proses komunikasi.
  • Conten Oriented (orientasi terpusat untuk memproses informasi yang komplek).
  • Action Oriented, dimana penyimak lebih memilih informasi yang jelas dan efisien.
  • Time Oriented, dimana penyimak lebih memilih pesan yang singkat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gaya menyimak yaitu : tipe menyimak, cognitive style, introvert/extrovert personality style, sensitivitas berbicara dan chanel.

2.3. Pengaruh Kontekstual
Selain fisiologis dan psikologis, pengaruh kontekstual juga memerankan peran sentral untuk membentuk pengalaman menyimak. Tiga hal kontekstual yang menjadi perhatian peneliti adalah peran, culture, dan waktu.
 
Peran yang dimaksud adalah dalam konteks hubungan sosial antara penyimak dengan pembicara, apakah rekan kerja, teman kuliah, manajer, dosen, dsb. Hubungan tersebut akan mempengaruhi pola komunikasi yang berbeda.
 
Culture (budaya) dipahami sebagai seperangkat kebiasaan, perilaku, keyakinan, dan bahasa yang membedakan kelompok satu dengan yang lain. Seorang anthropolog Edward Hall (Hall & Hall, 1989) menggambarkan bagaimana budaya yang berbeda mengelola informasi dengan cara yang berbeda. Hall membagi konteks budaya ini menjadi 2 jenis yaitu Low Culture and High Culture . Di beberapa Negara dengan konteks budaya yang rendah seperti Amerika dan Canada, pembicara butuh untuk memberi informasi verbal yang banyak. Sedangkan di Negara-negara dengan konteks budaya yang tinggi seperti Jepang dan Saudi, komunikasi tidak butuh menyampaikan banyak verbal dalam menyampaikan pesan, karena informasi juga bisa didapat dengan melihat konteks siapa komunikatornya.
 
Konteks budaya mempengaruhi gaya menyimak seseorang. Kiewitz, Weaver, Brosius dan Weimann (1997) melakukan pembandingan menyimak di kalangan remaja di beberapa Negara dengan kultur yang berbeda. Mereka menemukan bahwa di Jerman lebih berorientasi pada action, Israel berorientasi pada konten, sedangkan Amerika lebih berorientasi pada people dan time style.

Waktu merupakan faktor yang selalu diperhitungkan dalam proses menyimak. Ada berbagai dimensi waktu yang bisa mempengaruhi proses menyimak. Yang pertama adalah usia. Usia akan mempengaruhi ketajaman sensor dan tingkat pengalaman penyimak. Kedua, waktu harian juga berpengaruh dalam proses menyimak. Yang menarik adalah pesan yang disampaikan pada sore hari akan lebih lama tersimpan dalam memori dibanding pesan yang disampaikan pada pagi hari. Ketiga, waktu yang dibutuhkan untuk mendengar. Penyimak bisa mendengar sekaligus berpikir 4 kali lebih cepat dari tingkat kecepatan percakapan normal, namun kecepatan suara melebihi kecepatan berpikir, sehingga seringkali dalam percakapan terjadi jeda. Jeda inilah yang berpotensi membuat penyimak kehilangan focus dan interest (minat) dalam sebuah percakapan.
 
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi mengakibatkan penyimak merasa kewalahan dalam menghadapi pesan. Sebagai contoh adalah pekerja di Amerika. Mereka bertemu dengan rata-rata 201 pesan setiap harinya sehingga wajar jika merasa kehabisan waktu karena waktu terasa cepat berlalu.

3. Tipologi Menyimak
Dalam proses komunikasi, penyimak mempunyai fungsi yang komplek karena banyak hal yang harus didengarkan dengan tujuan yang berbeda-beda. Pakar komunikasi mengidentifikasi tujuan mendengar melalui beberapa tipologi.
 
Lundsteen (1971, 1979) menyatakan bahwa analisa pertama yang digunakan adalah urutan dalam mendengarkan, yaitu dari mendengar secara general, baru kemudian mendengar secara lebih kritis (khusus). Lundsteen menekankan “listening skill” terbagi dalam beberapa level. Level A, yang merupakan level terendah, adalah ketajaman persepsi akan suara; Level B, adalah pembedaan dasar atas suara-suara; dan Level C adalah pemahaman akan suara. Menurut Lundsteen, kegagalan dalam memahami perbedaan suara inilah yang mengakibatkan kegagalan dalam memaknai suara sebagai sebuah pesan.
 
Barker (1971) membedakan tujuan menyimak dilihat dari segi konteks, yaitu konteks sosial dan konteks serius. Dalam konteks sosial tujuan menyimak adalah untuk apresiasi, percakapan, dan bagaimana berlaku sopan dalam mendengarkan. Sedangkan dalam konteks serius, menyimak bertujuan untuk lebih selektif, sehingga dalam konteks ini diperlukan konsentrasi yang baik.
Mills (1974) menyatakan bahwa target menyimak adalah untuk merespon (setuju dengan pembicara), implikatif (mengidentifikasi pesan yang tidak dikatakan secara verbal), kritis (mengevaluasi pesan), dan menyediakan “sounding board” bagi pembicara (kesediaan untuk mendengarkan saja).
 
Dari ketiga teori di atas (skill, konteks, target), Wolvin dan Coakley (1979) mencoba mengintegrasikan ketiganya dan membagi tujuan menyimak berdasarkan fungsinya menjadi 5, yaitu : discriminative, comprehensive, theurapeutic, critical, dan appreciative. Kelima fungsi tersebut pada dasarnya dilakukan secara berurutan, tapi dalam beberapa informasi, ketrampilan discriminative dan comprehensive ini dilakukan secara bersama-sama. Di tingkat yang lebih tinggi, ketrampilan discriminative dan comprehensive ini dapat berfungsi sebagai therapeutic, critical dan appreciative.
 
Hal di atas tidak selalu berlaku, ada kalanya seseorang dapat mendengarkan untuk beberapa tujuan sekaligus saat menerima, memperhatikan, mempersepsikan, menterjemahkan, dan menanggapi pesan.

3.1. Discriminative
Discriminative listening adalah membedakan stimulus dalam menyimak, baik itu stimulus audio dan dibantu visual, sehingga diperlukan konsentrasi dan kepekaan agar jelas membedakan keduanya. Sebagai contoh misalnya, orang tua harus dapat membedakan suara tangis bayinya, sehingga tahu tindakan apa yang harus dilakukan untuk menghentikan tangisannya. Seorang mekanik mobil harus dapat membedakan suara mesin untuk dapat mengetahui bagian mobil mana yang rusak.
Discriminative listening menjadi dasar untuk mengetahui tujuan yang lain dari perilaku menyimak. 

Tahap penerimaan pesan membutuhkan penyimak yang mampu mengidentifikasi dan menafsirkan secara seksama antara audio dan visual, sehingga informasi yang diterima menjadi lebih efektif.

3.2. Comprehensive
Proses comprehensive merupakan dimana penyimakan dilakukan secara menyeluruh. Proses ini dimulai setelah proses discriminative. Proses ini sudah menuju ke tahap memahami pesan (briefing, kuliah, menonton film, dsb).
 
Dalam comprehensive listening yang efektif, Mulanax dan Powers (2001) berpendapat bahwa pada dasarnya kesepakatan dan ketepatan yang dikehendaki adalah apa yang ingin disampaikan pembicara sehingga diharapkan penyimak tidak terlalu cepat menyimpulkan. Cara untuk melakukan comprehensive listening adalah memiliki kosakata yang baik, mengecek akurasi atau ketepatan, mencatat dan memory skill (penyimak juga butuh menyimpan informasi dalam jangka pendek yang bisa di-recall untuk bisa di simpan di memori jangka panjang). Tingkat memori tergantung pada intensitas konsentrasi ketika menyimak pesan. Konsentrasi menjadi kunci dalam comprehensive listening yang efektif. Secara umum, konsentrasi ada batasannya, namun tantangannya adalah bagaimana penyimak dapat mempertahankan fokusnya pada pesan yang disampaikan pembicara.
 
Pada proses comprehensive listening, belum ada feedback dari penyimak karena penyimak belum menempatkan posisinya, baru sebatas mengerti tentang pesan yang disampaikan.

3.3. Theurapeutic
Therapeutic listening (menyimak sebagai terapi) merupakan menyimak yang melibatkan empati dalam prosesnya. Penyimak berfungsi sebagai “sounds board”, dan berperan memfasilitasi pembicara agar terus berbicara. Dalam proses ini, penyimak tidak memberikan idenya. Contohnya adalah ketika “curhat”, pembicara biasanya meminta solusi kepada penyimak tentang masalah yang sedang dialaminya. Tapi idealnya, penyimak hanya mengembalikan pesan yang diterima ke dalam kondisi pembicara, sehingga pembicara diharapkan mampu untuk memberi solusi sendiri untuk masalahnya.
 
Dalam proses menyimak ini penyimak harus mempunyai empati yang tinggi, dan tidak memberi judgement pada apa yang disampaikan pembicara. Cara merespon dalam proses ini adalah cukup dengan mengangguk, mengiyakan dan membiarkan pembicara tetap meneruskan pesannya.
Therapeutic listening bisa dikatakan sukses jika iklim komunikasi bisa suportif, dimana pembicara merasa nyaman dalam menyampaikan pesannya. Penyimak harus berusaha untuk tetap menjadi penyimak empatik tanpa memberi saran kepada pembicara. Inti peran sebagai “sounding board” adalah menjadikan pembicara memiliki solusi sendiri setelah melepaskan emosi dan pikirannya melalui percakapan.

3.4. Critical
Critical listening merupakan kebalikan dari therapeutic listening. Penyimak harus mampu mengkritisi, men-judge, dan mengevaluasi pembicara. Hal ini erat kaitannya dengan “persuasive communication” (pembicara berusaha mempengaruhi penyimaknya). Meskipun demikian, proses ini tetap harus melalui proses discriminative dan comprehensive terlebih dulu, jangan terlalu cepat memberi feedback atau kritik.
 
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam critical listening yaitu penyimak harus melihat kredibilitas pembicara, bisa dipercaya atau tidak. Penyimak yang kritis harus mampu mengidentifikasi argumen yang keliru atau informasi yang terlalu digeneralisasi tanpa dasar yang kuat. Dengan begitu, critical listening yang efektif harus melibatkan penilaian terhadap suara yang baik dan juga kepekaan terhadap strategi persuasif dari pembicara.

3.5. Appreciative
Bentuk-bentuk appreciative listening antara lain adalah mendengarkan suara musik, suara alam, mendengarkan pembacaan buku, sandiwara radio, dsb. Appresiative menyimak dimulai dari discriminative listening dan comprehensive listening tentang pengalaman apresiasi, sehingga hasilnya sangatlah personal, karena setiap penyimak memiliki rasa dan standar apresiasi yang berbeda-beda.
 
Ada 2 pendapat berbeda tentang appreciative listening ini. Ada ahli yang melihat, misalnya, dalam mengapresiasi musik maka bisa dilihat dari jenis musiknya, sejarahnya, dan sebagainya yang merupakan penilaian hal-hal teknis. Sebagai contoh orang yang mengetahui perkembangan musik tahun 90an akan mengacu pada pengetahuannya tentang musik di tahun tersebut. Ahli yang lain berpendapat bahwa ketika mengapresiasi, alami saja berdasarkan intuisi, jangan melihat elemen-elemen yang mengikutinya (sejarah, jenis aliran, dsb).
 
Dengan adanya kategorisasi menyimak dalam proses apresiasi ini maka menjadi berguna bagi penyimak untuk mengetahui perilaku menyimaknya dan mengembangkannya sesuai dengan tujuan yang berbeda-beda.
 
Arnold (1990) menolak kategorisasi ini, karena hal ini tidak bisa dipraktekkan atau diteliti. Menurut Arnold, dalam menyimak, informasi diproses menggunakan otak kiri dan yang otak kanan digunakan untuk memproses empati. Jadi appresiasive listening sama saja dengan therapeutic listening, tidak perlu adanya pembedaan.
 
Dalam jurnal ini, penulis (Andrew D. Wolvin) menolak pendapat Arnold tersebut. Penulis menyatakan bahwa menafsir sebuah pesan dengan menggunakan empati adalah integral terhadap semua bentuk menyimak. Penyimak perlu membawa empati untuk menafsir pesan dengan lebih baik, sehingga bisa lebih menetapkan persepsi yang diharapkan pembicara.
 
Menyimak merupakan perilaku komunikasi yang komplek, sehingga masih bisa dilakukan eksplorasi penelitian terkait menyimak. Oleh karena itu Hauser dan Hughes (1992) ingin membuat kesepakatan bagaimana berlakunya proses menyimak dengan melakukan sebuah tes uji coba. Tes ini dilakukan untuk fokus pada kemampuan penyimak dalam me-recall memori. Tes diujikan kepada penyimak yang mengetahui bahwa ia memang sedang diuji.

4. Kompetensi Menyimak
Kompetensi Menyimak membahas tentang apa yang dibutuhkan seorang pengajar menyimak dalam melatih menyimak. Ada berbagai metode yang bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan menyimak.

Nicholas (1948) menyebutkan ada sepuluh ketrampilan yang dibutuhkan untuk dilatih, yaitu :
  • Menemukan bidang minat
  • Kritik, pertimbangkan isi kritikan, bukan cara mengkritik
  • Tidak memberikan penilaian sebelum memahami pesan
  • Dengarkan ide-ide
  • Bersikap fleksibel dalam pencatatan
  • Bekerja pada saat penyimakan
  • Menahan gangguan
  • Melatih Pikiran (jangan menghindari materi yang sulit)
  • Jaga pikiran tetap terbuka
  • Memanfaatkan kecepatan pikiran (dengan produktif menggunakan kesenjangan antara tingkat berbicara dan menyimak (tingkat berfikir)
Kemampuan menyimak harus dipahami sebagai lebih dari sekedar proses komunikasi. Kemampuan dalam menyimak diperoleh dari mengetahui dan melakukan yang dibuktikan dengan feedback dan respon yang sesuai dengan pesan yang dimaksud pembicara. Menyimak tidak sesederhana tindakan komunikasi pasif, keterlibatan penyimak sebagai komunikator yang berfungsi penuh dalam proses komunikasi adalah penting. Penyimak yang berhasil harus menanggung setidaknya 50 % (jika tidak 51%) dari tanggung jawab atas hasil komunikasi. Kemampuan menyimak ini dapat ditingkatkan dengan sering melakukan latihan praktek dan umpan balik dan diperluas dengan pengetahuan dan keterampilan pada pengembangan sikap-sikap penyimakan.
 
Dalam prakteknya, penyimak yang terlibat umumnya dirujuk sebagai penyimak aktif yang bertanggung jawab serius pada proses komunikasi ini. Penyimak yang memiliki pengetahuan harus memahami tidak hanya proses penyimakan itu sendiri tetapi juga pada beberapa poin seperti penerimaan, perhatian, persepsi, interpretasi dan respon yang bisa saja terjadi secara bersamaan.

Lima dimensi menyimak menurut Imhof (2000) :
  • Kognitif (apa yang penyimak tahu)
  • Afektif ( sikap penyimak )
  • Perilaku / lisan (respon verbal penyimak)
  • Perilaku / nonverbal (tanggapan nonverbal penyimak)
  • Perilaku /hubungan interaktif penyimak dengan pembicara.

Stein (1999) dengan menggunakan think a loud protokol. Penemuannya menerobos dimensi kognitif, afektif menjadi :
  • Prelistening (membangun tujuan dan mempersiapkan untuk mendengarkan), menyimak (mengevaluasi, mengungkapkan reaksi afektif, menyimpulkan, menafsirkan, memonitor dan mengaktifkan strategi perbaikan pemahaman, selektif dalam memperhatikan, mengintegrasikan, dan mencatat), dan
  • Postlistening (mengevaluasi secara retrospektif, mencatat relevansi tujuan, mengajukan pertanyaan, dan menafsirkan secara retrospektif, menyimpulkan, memonitor, mengintegrasikan dan mengungkapkan reaksi afektif).
5. Praktek Menyimak
Para penyimak harus disiapkan mempraktekan keterampilan penyimakan yang benar selama berkomunikasi. Beberapa hal yang diperhatikan dalam praktek adalah :
  • Komitmen.
    Penyimakan yang baik mensyaratkan komitmen untuk tetap memberikan perhatian terhadap pesan.
  • Penyimak adalah komunikator yang aktif.
  • Penyimak berbeda dengan pendengar.
    Orang Amerika mengasumsikan peran yang pasif sebagai pendengar. Pendengar mengharapkan pembicara melakukan semua pekerjaan.
  • Keterampilan oral para briefers membutuhkan para penyimak yang terampil.
Saat ini banyak organisasi menggantungkan pengarahan singkat (briefing) dengan dukungan grafik-grafik presentasi sebagai tujuan utama untuk manajemen informasi. Keterampilan oral para briefers membutuhkan para penyimak yang terampil.

6. Penelitian Menyimak
Pada bagian ini berisi tentang berbagai penelitian tentang menyimak yang dilakukan para ahli. Penelitian yang pertama melakukan ini dilakukan oleh Nichols tahun 1948 dimana dia sebagai pelajar di universitas Minnesota mengambil topik uji bagaimana para penyimak efektif selama penyimakan di materi perkuliahan.
 
Setelah Nichols, banyak akademisi melakukan uji ketrampilan dalam penyimakan. Bostrom dan Waldhart (1983), mengembangkan tes keterampilan pemahaman penyimakan dengan mengukur kemampuan penyimak pada pesan-pesan audio yang lengkap.
 
Watson dan Barker (1984) menyatakan bahwa ada lima dimensi penilaian dalam menyimak :
  • Penyimakan untuk isi pesan,
  • Penyimakan pada dialog atau percakapan,
  • Penyimakan pada perkuliahan atau ceramah,
  • Penyimakan untuk maksud yang emosional/emotional meaning,
  • Penyimakan untuk pengarahan dan instruksi.
Steinsbrecher dan Wilmington (1993) mempublikasikan uji video yang dirancang untuk menilai keterampilan penyimakan yang komprehensif, empatik, dan kritis. Studi empiris lain mengeksplorasi dari perspektif penelitian kualitatif, yaitu bagaimana proses menyimak dalam konteks-konteks personal dan profesional yang berbeda. Ross dan Glenn (1996), misalnya, melihat pada bagaimana proses penyimakan anak-anak yang sedang tumbuh dan orang tua mereka. Janusik (2005), meneliti tentang bagaimana pekerjaan memory mempengaruhi para penyimak. 

Cornwell dan Orbe (1999), berpendapat bahwa studi humanistic juga membawa perspektif terhadap interpretasi kritis dari perilaku menyimak. Sedangkan Wolvin (2005), menggunakan model kepemimpinan untuk menganalisis efektifitas menyimak.

PENUTUP
Dari hal yang dituliskan di atas dan dari perhatian para ahli terhadap proses menyimak, bisa disimpulkan bahwa menyimak bukanlah sebuah proses komunikasi yang sederhana. Proses menyimak merupakan factor penting dalam proses komunikasi yang dipengaruhi oleh banyak hal. Penelitian dari sudut pandang yang berbeda dari para ahli menghasilkan temuan baru tentang factor yang mempengaruhi penyimakan.


Comments

  1. Terimakasih sudah membuat ini. Sangat membantu 🙏

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

TEORI KOMUNIKASI MODEL SHANNON DAN WEAVER

PEMBIDANGAN HUKUM BESERTA CONTOHNYA

Contoh Makalah Disorganisasi Keluarga (Perceraian)